SEIKAT MAWAR UNTUK MAMA
SEIKAT MAWAR INI AKU RANGKAI SENDIRI
SEBAGAI TANDA TERIMA KASIH
ATAS CINTA YANG SELALU MENGALIR DARIMU
KASIH MAMA SENANTIASA MEWARNAI
HARI-HARIKU
DENGAN KEINDAHAN
SENTUHANMU BAGAI DUKUNGAN
YANG MEMBUATKU MERASA DAMAI
SERTA MEMBUATKAN KENANGAN MANIS
YANG TAK TERLUPAKAN
MAMA…...
BUNGA MAWAR YANG MEKAR INI
KUPERSEMBAHKAN UNTUKMU
AGAR MAMA TAHU, BAHWA AKU MENCINTAIMU
TIDAK ADA YANG LEBIH MEMBAHAGIAKANKU
SELAIN MEMBUAT MAMA BAHAGIA
PENGORBANAN
KUTEMUI ENGKAU BERLINANG AIR MATA
MENANGISI AKU YANG MEMBUATMU TERIRIS
KELEMBUTANMU ADALAH KEKUATANMU
DOAMU ADALAH HIDUPKU
KAU PUNGUT PECAHAN HATI
KAU
RANGKAI MENJADI PENUH ARTI
RIBUAN LANGKAH
KAU ADA DI DEPANKU
SIBAKKAN PETAKA
DEMI SETAPAK JALANKU
CINTA YANG ABADI, KEKAL TIADA AKHIR
SEHANGAT PELUKMU,
SELEMBUT BISIKANMU
IBUKU
Berbulan
kuhuni rahimmu….
Tak sepatah keluh terlontar dari bibirmu
Banyak langkah kau hentikan
Karena aku…
Banyak hasrat
kau urungkan
Karena aku …
Tubuhmu
berangsur susut
Karena aku …
Wajahmu kian
memucat
Juga karena aku
Tiada siang ataupun malam
Tak peduli panas ataupun hujan
Tetap kau cucurkan kasihmu
Tanpa mengharap balasan
Di tengah puncak deritamu
Di tengah lengking jerit tangismu
Di antara hidup dan matimu
Lahirlah aku
ke alam fana …
Alam yang
menjadi saksi
Dan merekam
berjuta kenakalanku di masa kecil
Ibu …
Betapa besar pengorbananmu
Betapa tulus cinta kasihmu
Yang tak dapat kubalaskan
Tuhan …
Engkau adalah puncak dan alas segala harap
Restuilah cita-citaku ini
‘Kan
kukobarkan semangat hidupku
‘Kan kutunjukkan hasil karyaku
Dan kutuntut ilmu-ilmu nan berguna
Kemudian, kupersembahkan keharibaan
Ibunda tercinta
Amien
GURUKU PAHLAWANKU
Hari demi hari berpacu tiada henti
Suka dan duka menerpa silih berganti
Hidup penuh dengan berjuta
tantangan
Namun,
Engkau satu di antara insan pengabdi
Tetap…
Kau ayunkan derapmu untuk tujuan yang pasti
Kau goreskan penamu
Kau tuangkan bhaktimu
Kau semaikan benih-benih semangatmu
Kau tampilkan kami sebagai pandu-pandu pembangunan
Kau tempa iman kami
Kau bina jiwa kami dengan
ilmu nan berguna
Trampil dan semangat berkarya nyata
Kau asah, kami cerdas
Kau asih, kami cerdik
Kau asuh, kami cermat
Kau cipta Indonesia menjadi
bangsa
Yang tak kenal keluh kesah
Bangsa yang bekerja keras, belajar
giat
Bangsa berpadu di antara bangsa-bangsa dunia
Tiada
satupun yang dapat kami balaskan
Hanyalah
terima kasih kami setulus hati
UNTUKMU
GURUKU PAHLAWANKU
Tuhan,
…
Hanya
Engkau tempat kami memohon
Dan
kepada Engkau kami meminta
Karenanya,
Tuhan
Limpahkanlah
kesehatan,
keselamatan
dan kesejahteraan
Bagi
mereka
PAHLAWAN
PENDIDIKAN
AYAH
Sebelum mentari menampak di
ufuk timur
Ketika aku masih terlena
Dalam perangkap kantuk
Engkau telah siap dengan
sesuatu
Dan masih sempat kulihat dari
celah selimut
Engkau melangkah pergi
Untuk tujuan yang suci
Mencari nafkah anak istri
Sebelum mentari surup di ufuk
barat
Ketika aku duduk di beranda
rumah
Tenggelam dalam nikmat
bermain
Engkau baru kembali
Dengan wajah letih bersimbah
piluh
Masih sempat kau lontarkan
senyum padaku
Dan kau cercahkan ciummu di ubunku
Ayah
…
Aku
bangga menjadi anakmu
Aku
kagum akan pengorbananmu
Dikepekatan
malam
Aku
duduk bersimpuh
Kutadah
tangan ke langit
Berdo’a
meminta pada pada Yang Maha Kuasa
Tuhan…
Lindungi
ayahku dari mara bencana
Selamat
dan bahagiakanlah hidupnya
Tuhan,…
Bila
Engkau celakakan dia
Kemana
lagi aku akan bergantung
Dan
siapa lagi tempatku
Hanya
Engkau tempat ku memohon
Kabulkanlah
aku ini
Amien
DI SUDUT KOTA JAKARTA SUATU MALAM
Terlempar aku ke sunyi kota terdalam
Lelampu diam, menyalakan kejemuan
Pada gedung-gedung berkaca
Terminal orang kota dingin meluncur ke segenap nadi
darahku
Irama disko tak mampu mengusir racun sepiku
Dunia terpencil makin menelanku
Menyeretku jauh dari tanah kelahiran
Membelengguku atas nama peradaban
Dunia ciptaan kefanaan membiusku
Menjauhkanku dari sawah dan ladang kebahagiaaan
(Tuhan aku rindu kembali!)
Begitulah jemari hidup melayaniku
Sesekali melemparkanku ke ruang semu
Untuk kembali memulangkanku
Ke hakikat rindu
DIA
Dia datang dari darat
Ke lantai empat
Sebuah gedung di Jakarta
“Bung ini saya menjual nasib
Sepotong kaki yang membusuk, mata yang terputus,
setumpuk duka dan segenggam rintihan,” tawarnya
“Apa yang harus aku beli
salah satu yang engkau tawari
aku tak punya daya
membeli dukamu, dara,” sahut tukang sapu dengan hati kalut
dia mengundang mata tukang sapu
untuk saksikan lukanya yang menganga
“tidakkah kau kasihan
melihat aku menyeret beban begitu kepayahan
oh, tukang sapu
mengeluh
lukaku sudah
letih menganga
lorong-lorong
tak terlampau di batinku
di sini aku
minta suaka
kenapa dia tak
membaca muka?
“kau yang luka
minta pada hamba, hamba tak bias
Cobalah mohon
pada yang Kuasa agar diberi jalan rata.”
“Oh, Tuan
sadis
Melebihi setan
iblis!” kutuknya
Tukang sapu
hilang kata
Debu rebah
dimana-mana
Luka darah
dibelinya dengan doa
BUNGA
PADA SEORANG PEMULUNG
Kita hadir dan bercinta
Menjemur cita-cita di langit terbuka
Bagi orang lain cinta ia dapatkan
Dari taman bunga yang subur penuh aroma
Tapi cinta kita ini lahir dari bising stasiun
Bersemi dalam keruh air sungai
Pada awal jumpa, kita sudah di giring petugas
Persis seekor kerbau yang di cucuk hidungnya
Atap rumah kita melayang diterbangkan kobaran api yang ganas
Jerit tangis jadi hiburan murah setiap hari
Pada bayangan pilar jembatan, kita berteduh
Melupakan yang baru saja
Hangus menghadang derita baru yang akan tiba
Ketika senja bergegas
Kitapun beranjak merenung
Berusaha lepas dari kehidupan pahit: mencari angin keberuntungan.
Esoknyakita
meramu cinta dari debu dan terik matahari
Mengeringkan
duka menjaring suka
Karena milik
kita hanyalah baying-bayang jenaka
dan ketika
duka kita reda sejenak
kau hadiahkan
aku sebuah ciuman di ujung gang
lalu kita
berpisah demi tugas sebuah pemulung
kau kembali ke
timur aku ke barat,
dan kembali
jumpa di halaman rumah seorang Bandar besi
di kesepakatan
bulan menerangi malam
kita merajut
kasih di atas bantal rel
menanti kereta
untuk melindas hari-hari kelam kita
kau tersenyum
di pagi buta
aku gelisah
menyusun kata cinta
kau bilang
ingin mati
sebelum aku
selesai menulis puisi!
MONAS
DI MALAM HARI
Tegak berdiri, tersenyum gagah
Berkeringat cahaya lampu mercuri
Tak pernah lelah enyapa
Seorang anak jalanan melepas penat
Sambil menahan ususnya yang lengket serta perutnya,
Lalu bersendawa berkali-kali
Menatapmu dengan sejuta Tanya
Sebab,
Siang ini ia harus berlari
Untuk mempertahankan diri
Agar dapat tersenyum gagah
Laksana monas di malam hari
JAKARTA SUATU MALAM
Mimpi pada
lambung
Ruh-ruh
menganga sepanjang taman
Jakarta,
Jakarta …
Beribu nyamuk
mengapung
Tidur,
demikian gelisah antara keasingan dan keterasingan
Waktu!
Menggeliat-geliat
sepanjang trotoar jalan
Jakarta,
Jakarta …
Hanya sedikit
sisa tenaga
Tak bias
menyuburkan ingatan
Semalam dalam
penjara
KAMI
TAHU ASAL JADI KAU
Asal sebab kembali sebab
Asal tanah pulang ke tanah
Asal darah kemula darah
Asal tahu muasal tahun
Kami tahu asal jadi tahu
Kau jadi dari duka kami
Yang kau jadikan kudakau
Kau jadi dari hati kami
Yang kau niatkan sukasukakau
Kau jadi dari suara kami
Yang kau nyanyikan iramakau
Kau jadi dari hari-hari kami
Yang kau hura-hurakan semaukau
Kau jadi dari mufakat kami
Yang kau khianati dengan muslihatkau
Asal sebab ke bab sebab
Asal tanah ke zarah tanah
Asal perih ke patah janji
Asal jadi ke
balik jadi
Asal abad ke
mula hari
Asal duka
kepadam caya
Kami tahu asal
jadi kau
Kau jadi dari
ayat kami
Yang kau
sampaikan tafsirankau
Kau jadi dari
bahasa kami
Yang kau
hajatkan maknakau
Kau jadi dari
kuasa kami
Yang kau
genggam semaukau
Kau jadi dari
angan kami
Yang kau
lantas angankau
Kau jadi dari
lugu kami
Yang kau
jadikan gula-gulakau
PURNAMA
Air mata adam
Air mata kita
Lalu hawa pohon-pohon prahara
Melambaikan sekeras cinta
Torehan-torehan latar ungu
Memakumu ragu
Pada jalan yang dulu
Jemu perihalnya menunggu
Pengembara asing di pelabuhan tinggal
Warna sepotong senja
Perih lagumu kekasih sangkar
Rintih kenangan yang gemetar
Purnama bergegas pergi
Purnama membilang hari
purnama hilang lagi
purnama tak kembali
tinggal indahnya berita raja
tunas yang tumbuh dari sunyi
kata-katamu merdeka
peta: rahasia abadi!
DI TEPI HARI
Seolah sebatang sungai, hari mengalir derasd di depan
mata
Aku berdiri termangu di tepi, memandang kesibukan itu
Terlihat arusnya mengangkut sampah dalam skala besar
Terkadang tampak tenang, tak ada riak,
bahkan warnanya pun datar saja
Agak mengherankan, karena ini Jakarta
Sungai itu: hari yang bergerak seperti makhluk raksasa
dengan segenap perilakunya.
Entah berapa trilyun, biaya yang terlindas oleh sebuah
hari di Jakarta
Akankah aku berdiri saja, mencakung sendiri
Memandang gelombang demi gelombang menyeret nasib manusia
Kudengar desah erotisme, tawa puas, jerit kesakitan,
keluhan yang tertahan
Semua membentuk gemuruh debur di sungai itu, dihari itu
Entah siapa mendorongku tiba-tiba untuk terjun berenang
Dalam gelombang arus Jakarta: seolah sebatang sungai,
Hari yang mengalir deras itu menghayutkan kata-kataku
GEMURUH DI LUAR RUMAH
Di luar rumah, hidup begitu gemuruh
Di balik jendela, tak terdapat batas siang dan
malam
Percakapan menjadi sangat panjang
Memenuhi ruang udara n24 jam
Andai sanggup kita pandangi suara, tentu akan
sesask dunia
Andai tak ada lagi tempat menampung bunyi!
Dan kata-kata akan tumpah ke mana itu semua?
Di luar perjalananku dari rumah
Ke tempat kerja, hidup demikian gemuruh
Tak semua tertera di lensa mata. Tak semua
terbias di televisi kita
Ketika pikiran hanya diserbu iklan, pusing warna
lampu jalan raya, hilir mudik berita mancanegara; pernahkah terduga di saku
kita ada pink lady, pil kontrasepsi, atau sebotol kecil cognac dan margaritha?
Ternyata di luar meja kerja, berlangsung kehidupan yang
gemuruh
Sejenak saja terlena lewat sudah sejumlah peradaban
Apa yang tersisa di internet?
Politik masa lalu, teori konfigurasi pesetubuhan, atau
hanya percakapan tentang harga yag melompat-lompat
KULALUI JALAN INI
Kulalui jalan ini, jalan tak punya arah kembali
Orang melambaikan ruang, hangus sendiri.
Hidupku berapakah banyak kau belanjakan?
Jiwaku, berapakah budak kau lahirkan? Kulukai engkau.
Rasakan, rasakan kepedihan fana dan kekekalan
Kulalui jalan ini, jalan tak punya arah kembali
Orang melambaikan waktu, musuhmu abadi.
Siapakah yang mengerang
memukul-mukul dada?
Akhirnya kumiliki engkau sebagai sebagai tiada
Lumpur itu, meregang jadi debu
Lempeng itu, tersengal dalam diriku
Alangkah “Alangkah malang,” katamu
KITA PERNAH
Kita pernah berkenalan
Musin hujan, air
Memanjat selokan “sebut aku kepasrahan”
Katamu, timbul-tenggelam dalam genangan
Dalam genangan, air menjilat rumah-rumah jamban
Wajahmu pucat, dan ketakutan. “sebut aku
ketabahan,” katamu
Kayu dan arang mengerut dan mengerang.
Engkau kemanakah bakal pulang?
Berhari-hari berbulan-bulan kutunggu kau di
koran-koran
Di koran-koran, seperti biasa, kau tidak ada
Gedung-gedung didirikan dengan ketenanganb
Demikian indah begitu megah deras pembangnan
Kota-kota tumbuh dari kegaiban. Tapi kita
Tapi kita pernah berkenalan
Berulangkai kau kunjungi aku,
sebagai aduh dari kepedihan
MUTIARA YANG HILANG
Kota -kota dalam bayanganku lautan bunga-bunga
Indah tanpa cela.hingga ke sudut gerbangnya
Namun kotaku kini tinggal pekathitam. Tanpa surya
Siang malam kedinginan. Kotaku diselimuti mega-mega
Raksasa. Taman hatiku, kian menepi ditanami
Rumah-rumah penduduk, disulap jadi tebing,
Juga telaga. Sepanjang jalan, mengubur kemarahanmu
Gunung-gunung berbatu, begitu senyap. Seperti singa
Orang-orang berebut memasang taring. Mengasah kuku
Tanpa advertensi. Menerkam siapa saja
Tak pandang dadanya berbulu. Di dalam diskotik,
Kafe, bar dan restoran, tak lagi kusaksikan
Tarian letih pencarian kerja. Mereka hanya bergantian
Menyanyikan luka dan keperihan, sedangkan air matanya
Dipenuhi dengan darah. Membius seorang wanita
Hingga berubah menjadi hewan melata, yang leluasa
Mendengus-denguskan napasnya di balik ketiak pria
Dan aku semakin kesepian melangkah kota
Mencari-cari mutiara yang hilang
PAHLAWAN
Ketika dari seberang lautan datang pasukan seteru
Pahlawan dengan gagah memasang dada
Mengatur segala siasat
Sendiri atau ramai-ramai tak jadi soal
Di benaknya Cuma ada satu harapan
Menangkan perang
Lalu pahlawan membangun kemerdekaan
Untuk sesamanya bukan dengan senjata,
Tapi dengan semangatnya yang membara
dan bergerak dalam darah
seperti virus, setiap tetes menjalar ke tubuh bagaikan
pepohonan, beranak pinak dan benihnya itu memijar menjadi sejuta
bahkan semilyar tenaga
bukan untuk berperang atau aksi gagah-gagahan
membangun negeri yang penuh harapan ini
perlu lebih dari semilyar semangat dan perjuangan
EKSPRESI SUARA TENGAH KOTA
Suara sumbang menerang ke tengah kota
Di pigura pabrik, hotel dan swah ladang
Baru uterima ganti rugi
Namun semua itu semua tahu keuntungandimana-mana
Hanya lukisan tanpa warna
Bermain ilusi sampai pagi
Serasa orang-orang jantan sepertimu
Haruskah mengadaikan rasa malu
Setiap kali datang koran lagi,
Udara dan kata-kata, menyudahi pertengkaran diantara kita
Tapi api telah menyulap aib duniamu
Sedang aku masih memimpikan ibu kotaku ini berubah
Semasa air matamu masih mengalir dan sedikit tumpah di
kerah bajuku
Cukup satu naskah ku mengenal karaktermu
Setiap adegan hanya menari dan terus menari
Lalu diam menangkapi lautan cahaya cintanya
KIBARKAN
Kibarkan
Kibarkan panji-panji di setiap sudut benteng
dan di atas gapura
baagai segumpal daging yang melimpah
pada pasukan panah
celakalah bagi mereka yang akan menyerang kita
kelaparan akan melanda
dan mereka akan kita bantai
satu demi satu
MERDEKA
Seperti suatu meriam kan meledak
Seribu bedil adakah berarti
Kalau laras-laras sudah bernyanyi
Apalagi yang kau tunggu saudara
Ayo! Nyalakan api hatimu
Seribu letupan pecah suara
Sambut dengan satu kata: Merdeka!
Mrah putih putih mawar melati
Merah putih bara api
Merah putih mawar melati
Merah putih setiap hati
Sambut dengan satu kata : Merdeka! 3X
KITA BERTEMU DISINI
Kita bertemu disini!
Dalam berbagai panorama puisi
Mengisi kesunyian, dan mengaduk
harapan-harapan
tentang apa saja ...
kita bertemu disini!
Memenuhi undangan perasaan
Karena kita tlah terpadu
Dalam ceria maupun sendu ...
Sahabat ...
Adakah kau dengar lagu indah
sedang bersenandung di hatiku?
Kita bertemu disini!
Dalam dendam rindu yang satu ...
PUISIKU
Puisiku adalah sebuah dunia bebas
Dimana aku aku dapat merasa paling berkuasa
Atas kemauanku sendiri
Dan akupun kemudian terbang kemana-mana
Menyaksikan kemelut disana sini
Menyusuri alunan simponi
Kisah sedih gadis-gadis yang cekcok
dengan kata hati sendiri atau ditinggal kekasih
dengan kata hati sendiri atau ditinggal kekasih
Oh, betapa bahagia
Bisa memeluki bukit dan gunung
Menciumi bunga-bunga
Berlari-lari di padang rumput
Entah akan kemana,
Bagaimana
Mengapa
Puisiku adalah rasa syukurku
Karena damai ataupun kusruh melihat hidup
membayangkan gerak
GURU
Oh, Guru
Maafkan aku dan teman-temanku
Mungkin selama ini kami selalu
menyusahkan bapak dan ibu guru
Oh, Guru
Kau adalah pengganti orang tua kami
Yang telah banyak membimbing kami
Dan cukup banyak yang kami tidak tahu di rumah
Oh, Guru
Begitu besar pengabdian dan jasamu
Dengan penuh kesabaran, ketulusan dan kasih
sayang
Engkau berikan ilmu kepada kami tanpa pamrih
Oh, Guru
Semoga perjuanganmu
Dapat mnerangi hati kami yang beku
Dapat menjadi penuntun
Dalam setiap langkah kami
Oh, Guru
Hanya Tuhanlah
Yang dapat membalas semua jasamu
Amien
GURUKU
Guruku ...
Jasamu tak sepenggalah
Kau didik dan kau bina, dengan penuh asuh
Kau tuntun dan kau bimbing kami,
Dengan penuh asih dan kasih
Demi hari, demi minggu, bulan dan tahun terus
bertambah
Enam tahun kau adalah Bapakku, ibuku di sekolah
Bagi kami tak mau perpisahan
Bagi kami ada bekas
Bagi kami guruku adalah guruku
Guruku, ...
Memang jasamu tak sepenggalah
GURUKU
Enam tahun berlalu ...
Kau ukir ilmu dalam benakku
Pelita hidup dalam kalbu
Sebagai tongkat di kegelapan
Guruku,...
Mendidik dan mengajariku
Sepenuh ksabaran dan keikhlasan
Sesarat pengabdian dan perjuangan
Tak pernah kau mengeluh
Tak pernah kau mengaduh
Meniti panggilan hati nurani
Guruku, ...
Jasamu tak ternilai apapun
Jasamu tanpa tanda
Sebagai embun penyejuk rasa
Kasihmu tanpa pilih
Budimu tergores dalam hatiku
Hanya Tuhanlah yang memberi pahala
Untukmu guruku
GURUKU
Adakah yang lebih mulia,
Seperti seorang guru
Setiap kata yang diucapkan
Adalah jalan menuju surga
Adakah yang lebih mulia,
Seperti seorang guru
Lewat butir-butir kapur yang berterbangan
Anak didiknya melihat cakrawala
Menatap wajahnya saja
Usailah segala duka
Adakah yang lebih mulia,
Seperti seorang guru
Lewat hari-hari yang berlari
Angin surga datang membelai
Indah dan harum mewangi
Kalaupun kelap senja mulai membayang
Usiamupun makin lanjut
Murid-muridmu akan menikmati jasanya
UCAP SATU KATA
Ucap satu kata tantangan
Pada angin yang kencang
Ketika perahu terguncang
Ucap satu kata kepastian
Pada bimbang yang mengembang
Jangan ucap satu katapun
Tentang kekacauan
Jika perjuangan belum selesai
Selama hidup belum usai
Kalau kita bicara soal kejadian yang melanda dunia
Biar sampai rambutnya habispun tak ada usainya
Mungkin dunia ini sudah tidak ada mahkotanya lagi
Dimana-mana kulihat perang
Rakyat menderita kelaparan
Kehilangan tempat bernaung
Mayat-mayat berserakan
Darah bercucuran dan tangis si kecil
yang tak mengenal dosa mencari ayah dan ibunya
sembari menahan lapar dan dahaga
ya, ... Tuhan, terangilah duniamu, yang gelap ini
selamatkan jiwa-jiwa hambamu ini
yang belum mengenal dosa
dari kekejaman duniaMu, ya ... Tuhan
apa mungkin engkau telah enggan bersahabat dengan
kita
Oh, dunia ... masih adakah citramu yang baik
Untuk merajut hari esok demi anak cucumu
Agar dapat menikmati hidup engan damai
DARI KETINGGIAN MENARA
MONAS
Aku dan beserta
teman-teman naik ke punack Monas
Dari menaranya
kunikmati panorama Jakarta
Menukik ke
sekitar manusia bagai semut bergerak-gerak
Sana-sini
kelompok jubelan mobil merangkak beringsut
Dalam mau
melepaskan diri untuk kabur melejit
Sebelah utara
ada sesayat laut tenang membiru
Diusik
gerak-gerik kapal dan perahu nelayan
Di jalur-jalur
kota menyembul tonggak-tonggak beton
besar-besar
dan tinggi-tinggi menuding langit
Sebagian wajah
kota tertutup hamparan permadani
dari atap dan
genting rumah ditumpahi tinta hijau dedaunan
di celah-celah
dan ruang di kejauhan
panorama lama
ibukota indah mempesona
ciptaan Tuhan
seru sekalian alam
dari menara
Monas terasa sunyi serasa tersingkir
dari keakraban keramahan dan kebersamaan yang terpasang
di kebisuan alami di bawahtidak ku tahu
gerak tingkah apa dan kata-kata apa yang terhambur
di bawah kala berada di ketinggian yang menjauh
keseharian kita sama-sama terperangkap dalam
relung kehidupannya
TANAH
AIR MATA
Tanah air mata tanah tumpah darah
Mata air mata kami
Airmata tanah air kami
Di sinilah kami berdiri
Menyanyikan airmata kami
Di balik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Di balik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami
Kami coba simpan nestapa
Kami coba kuburkan dukalara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana
Bumi memang tak sebatas pandang
Dan udara luas menunggu
Namun kalian takkan bisa menyingkir
Kemana pun melangkah
Kalian pijak airmata kami
Kemana pun terbang
Kalian kan hinggap di airmata kami
Kemana pun berlayar
Kalian arungi airmata kami
Kalian sudah terkepung
Takkan bisa mengelak
Takkan bisa kemana pergi
Menyerahlah pada kedalaman airmata kami
CITRA GURU
Langkahmu yang terayun setiap hari
Kadang tersendat surut
Setapak untuk kemudian
melompat menerang cakrawala
kehidupan nyata
Kau telah siap dengan setiap tantangan
Bukan dengan membabi buta
Hari ini,
Dalam alunan kehidupan dari itu ke itu
Masih kau tumpahkan kristal-kristal kasih
Di ruang pengap persegi
Empat sementara sekian mulut tanggung
Jawabmu menunggu
Cerita pelipur angan
Yang tak pernah nyata
Bahkan makin menjauh
Kau tidak cemas
Kau tidak putus asa
Esok, pagi hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar