Rabu, 20 Maret 2013

PUISI COLLECTIONS



SEIKAT MAWAR UNTUK MAMA
 
SEIKAT MAWAR INI AKU RANGKAI SENDIRI
SEBAGAI TANDA TERIMA KASIH
ATAS CINTA YANG SELALU MENGALIR DARIMU
KASIH MAMA SENANTIASA MEWARNAI HARI-HARIKU
DENGAN KEINDAHAN
SENTUHANMU BAGAI DUKUNGAN
YANG MEMBUATKU  MERASA DAMAI
SERTA MEMBUATKAN KENANGAN MANIS
YANG TAK TERLUPAKAN
MAMA…...
BUNGA MAWAR YANG MEKAR INI
KUPERSEMBAHKAN UNTUKMU
AGAR MAMA TAHU, BAHWA AKU MENCINTAIMU
TIDAK ADA YANG LEBIH MEMBAHAGIAKANKU
SELAIN MEMBUAT MAMA BAHAGIA 

PENGORBANAN

 KUTEMUI ENGKAU BERLINANG AIR MATA
 MENANGISI AKU YANG MEMBUATMU TERIRIS
 KELEMBUTANMU ADALAH KEKUATANMU
 DOAMU ADALAH HIDUPKU

 KAU PUNGUT PECAHAN HATI
KAU RANGKAI MENJADI PENUH ARTI
RIBUAN LANGKAH
KAU ADA DI DEPANKU
SIBAKKAN PETAKA
DEMI SETAPAK JALANKU

CINTA YANG ABADI, KEKAL TIADA AKHIR
SEHANGAT PELUKMU,
SELEMBUT BISIKANMU


IBUKU

Berbulan kuhuni rahimmu….
Tak sepatah keluh terlontar dari  bibirmu

Banyak  langkah kau hentikan
Karena  aku…
Banyak hasrat kau urungkan
Karena aku …
Tubuhmu berangsur susut
Karena aku …
Wajahmu kian memucat
Juga karena aku
Tiada siang ataupun malam
Tak peduli panas ataupun hujan
Tetap kau cucurkan kasihmu
Tanpa mengharap balasan

Di tengah puncak deritamu
Di tengah lengking jerit tangismu
Di antara hidup dan matimu
Lahirlah aku ke alam fana …
Alam yang menjadi saksi
Dan merekam berjuta kenakalanku di masa kecil
Ibu …
Betapa besar pengorbananmu
Betapa tulus cinta kasihmu
Yang tak dapat kubalaskan

Tuhan …
Engkau adalah puncak dan alas segala harap
Restuilah cita-citaku ini
‘Kan kukobarkan semangat hidupku
‘Kan kutunjukkan hasil karyaku
Dan kutuntut ilmu-ilmu nan berguna
Kemudian, kupersembahkan keharibaan
Ibunda tercinta
Amien



GURUKU PAHLAWANKU


Hari demi hari berpacu tiada henti
Suka dan duka menerpa silih berganti
Hidup penuh dengan berjuta tantangan
Namun,
Engkau satu di antara insan pengabdi
Tetap…
Kau ayunkan derapmu untuk tujuan yang pasti
Kau goreskan penamu
Kau tuangkan bhaktimu
Kau semaikan benih-benih semangatmu
Kau tampilkan kami sebagai pandu-pandu pembangunan
Kau tempa iman kami
Kau bina jiwa kami dengan ilmu nan berguna
Trampil dan semangat berkarya nyata
Kau asah, kami cerdas
Kau asih, kami cerdik
Kau asuh, kami cermat
Kau cipta Indonesia menjadi bangsa
Yang tak kenal keluh kesah
Bangsa yang bekerja keras, belajar giat
Bangsa berpadu di antara bangsa-bangsa dunia


Tiada satupun yang dapat kami balaskan
Hanyalah terima kasih kami setulus hati
UNTUKMU GURUKU PAHLAWANKU

Tuhan, …
Hanya Engkau tempat kami memohon
Dan kepada Engkau kami meminta
Karenanya, Tuhan
Limpahkanlah kesehatan,
keselamatan dan kesejahteraan
Bagi mereka
PAHLAWAN PENDIDIKAN



AYAH

Sebelum mentari menampak di ufuk timur
Ketika aku masih terlena
Dalam perangkap kantuk
Engkau telah siap dengan sesuatu
Dan masih sempat kulihat dari celah selimut
Engkau melangkah pergi
Untuk tujuan yang suci
Mencari nafkah anak istri

Sebelum mentari surup di ufuk barat
Ketika aku duduk di beranda rumah
Tenggelam dalam nikmat bermain
Engkau baru kembali
Dengan wajah letih bersimbah piluh
Masih sempat kau lontarkan senyum padaku
Dan kau cercahkan  ciummu di ubunku



Ayah …
Aku bangga menjadi anakmu
Aku kagum akan pengorbananmu
Dikepekatan malam
Aku duduk bersimpuh
Kutadah tangan ke langit
Berdo’a meminta pada pada Yang Maha Kuasa
Tuhan…
Lindungi ayahku dari mara bencana
Selamat dan bahagiakanlah hidupnya
Tuhan,…
Bila Engkau celakakan dia
Kemana lagi aku akan bergantung
Dan siapa lagi tempatku
Hanya Engkau tempat ku memohon
Kabulkanlah aku ini
Amien

DI SUDUT KOTA JAKARTA SUATU MALAM

Terlempar aku ke sunyi kota terdalam
Lelampu diam, menyalakan kejemuan
Pada gedung-gedung berkaca
Terminal orang kota dingin meluncur ke segenap nadi darahku
Irama disko tak mampu mengusir racun sepiku

Dunia terpencil makin menelanku
Menyeretku jauh dari tanah kelahiran
Membelengguku atas nama peradaban
Dunia ciptaan kefanaan membiusku
Menjauhkanku dari sawah dan ladang kebahagiaaan
(Tuhan aku rindu kembali!)

Begitulah jemari hidup melayaniku
Sesekali melemparkanku ke ruang semu
Untuk kembali memulangkanku
Ke hakikat rindu

DIA

Dia datang dari darat
Ke lantai empat
Sebuah gedung di Jakarta

“Bung ini saya menjual nasib
Sepotong kaki yang membusuk, mata yang terputus,
setumpuk duka dan segenggam rintihan,” tawarnya

“Apa yang harus aku beli
salah satu yang engkau tawari
aku tak punya daya
membeli dukamu, dara,” sahut tukang sapu dengan hati kalut

dia mengundang mata tukang sapu
untuk saksikan lukanya yang menganga
“tidakkah kau kasihan
melihat aku menyeret beban begitu kepayahan

oh, tukang sapu mengeluh
lukaku sudah letih menganga
lorong-lorong tak terlampau di batinku
di sini aku minta suaka
kenapa dia tak membaca muka?


“kau yang luka minta pada hamba, hamba tak bias
Cobalah mohon pada yang Kuasa agar diberi jalan rata.”

“Oh, Tuan sadis
Melebihi setan iblis!” kutuknya

Tukang sapu hilang kata
Debu rebah dimana-mana
Luka darah dibelinya dengan doa


BUNGA PADA SEORANG PEMULUNG

Kita hadir dan bercinta
Menjemur cita-cita di langit terbuka
Bagi orang lain cinta ia dapatkan
Dari taman bunga yang subur penuh aroma
Tapi cinta kita ini lahir dari bising stasiun
Bersemi dalam keruh air sungai

Pada awal jumpa, kita sudah di giring petugas
Persis seekor kerbau yang di cucuk hidungnya
Atap rumah kita melayang diterbangkan kobaran api yang ganas
Jerit tangis jadi hiburan murah setiap hari
Pada bayangan pilar jembatan, kita berteduh

Melupakan yang baru saja
Hangus menghadang derita baru yang akan tiba

Ketika senja bergegas
Kitapun beranjak merenung
Berusaha lepas dari kehidupan pahit: mencari angin keberuntungan.
Esoknyakita meramu cinta dari debu dan terik matahari
Mengeringkan duka menjaring suka

Karena milik kita hanyalah baying-bayang jenaka
dan ketika duka kita reda sejenak
kau hadiahkan aku sebuah ciuman di ujung gang
lalu kita berpisah demi tugas sebuah pemulung
kau kembali ke timur aku ke barat,
dan kembali jumpa di halaman rumah seorang Bandar besi

di kesepakatan bulan menerangi malam
kita merajut kasih di atas bantal rel
menanti kereta untuk melindas hari-hari kelam kita
kau tersenyum di pagi buta
aku gelisah menyusun kata cinta
kau bilang ingin mati
sebelum aku selesai menulis puisi!


MONAS DI MALAM HARI

Tegak berdiri, tersenyum gagah
Berkeringat cahaya lampu mercuri
Tak pernah lelah enyapa

Seorang anak jalanan melepas penat
Sambil menahan ususnya yang lengket serta perutnya,
Lalu bersendawa berkali-kali

Menatapmu dengan sejuta Tanya
Sebab,
Siang ini ia harus berlari
Untuk mempertahankan diri
Agar dapat tersenyum gagah
Laksana monas di malam hari

JAKARTA SUATU MALAM

Mimpi pada lambung
Ruh-ruh menganga sepanjang taman
Jakarta, Jakarta …
Beribu nyamuk mengapung
Tidur, demikian gelisah antara keasingan dan keterasingan
Waktu!
Menggeliat-geliat sepanjang trotoar jalan
Jakarta, Jakarta …

Hanya sedikit sisa tenaga
Tak bias menyuburkan ingatan
Semalam dalam penjara

KAMI TAHU ASAL JADI KAU


Asal sebab kembali sebab
Asal tanah pulang ke tanah
Asal darah kemula darah
Asal tahu muasal tahun
Kami tahu asal jadi tahu

Kau jadi dari duka kami
Yang kau jadikan kudakau
Kau jadi dari hati kami
Yang kau niatkan sukasukakau
Kau jadi dari suara kami
Yang kau nyanyikan iramakau
Kau jadi dari hari-hari kami
Yang kau hura-hurakan semaukau
Kau jadi dari mufakat kami
Yang kau khianati dengan muslihatkau

Asal sebab ke bab sebab
Asal tanah ke zarah tanah
Asal perih ke patah janji
Asal jadi ke balik jadi
Asal abad ke mula hari
Asal duka kepadam caya
Kami tahu asal jadi kau

Kau jadi dari ayat kami
Yang kau sampaikan tafsirankau
Kau jadi dari bahasa kami
Yang kau hajatkan maknakau
Kau jadi dari kuasa kami
Yang kau genggam semaukau
Kau jadi dari angan kami
Yang kau lantas angankau
Kau jadi dari lugu kami
Yang kau jadikan gula-gulakau


PURNAMA

Air mata adam
Air mata kita
Lalu hawa pohon-pohon prahara
Melambaikan sekeras cinta

Torehan-torehan latar ungu
Memakumu ragu
Pada jalan yang dulu
Jemu perihalnya menunggu

Pengembara asing di pelabuhan tinggal
Warna sepotong senja
Perih lagumu kekasih sangkar
Rintih kenangan yang gemetar

Purnama bergegas pergi
Purnama membilang hari
purnama hilang lagi
purnama tak kembali

tinggal indahnya berita raja
tunas yang tumbuh dari sunyi
kata-katamu merdeka
peta: rahasia abadi!

DI TEPI HARI

Seolah sebatang sungai, hari mengalir derasd di depan mata
Aku berdiri termangu di tepi, memandang kesibukan itu
Terlihat arusnya mengangkut sampah dalam skala besar
Terkadang tampak tenang, tak ada riak,
bahkan warnanya pun datar saja
Agak mengherankan, karena ini Jakarta

Sungai itu: hari yang bergerak seperti makhluk raksasa
dengan segenap perilakunya.
Entah berapa trilyun, biaya yang terlindas oleh sebuah hari di Jakarta
Akankah aku berdiri saja, mencakung sendiri
Memandang gelombang demi gelombang menyeret nasib manusia
Kudengar desah erotisme, tawa puas, jerit kesakitan,
keluhan yang tertahan
Semua membentuk gemuruh debur di sungai itu, dihari itu

Entah siapa mendorongku tiba-tiba untuk terjun berenang
Dalam gelombang arus Jakarta: seolah sebatang sungai,
Hari yang mengalir deras itu menghayutkan kata-kataku


GEMURUH DI LUAR RUMAH

Di luar rumah, hidup begitu gemuruh
Di balik jendela, tak terdapat batas siang dan malam
Percakapan menjadi sangat panjang
Memenuhi ruang udara n24 jam
Andai sanggup kita pandangi suara, tentu akan sesask dunia
Andai tak ada lagi tempat menampung bunyi!
Dan kata-kata akan tumpah ke mana itu semua?

Di luar perjalananku dari rumah
Ke tempat kerja, hidup demikian gemuruh
Tak semua tertera di lensa mata. Tak semua terbias di televisi kita
Ketika pikiran hanya diserbu iklan, pusing warna lampu jalan raya, hilir mudik berita mancanegara; pernahkah terduga di saku kita ada pink lady, pil kontrasepsi, atau sebotol kecil cognac dan margaritha?

Ternyata di luar meja kerja, berlangsung kehidupan yang gemuruh
Sejenak saja terlena lewat sudah sejumlah peradaban
Apa yang tersisa di internet?
Politik masa lalu, teori konfigurasi pesetubuhan, atau hanya percakapan tentang harga yag melompat-lompat


 KULALUI JALAN INI

Kulalui jalan ini, jalan tak punya arah kembali
Orang melambaikan ruang, hangus sendiri.
Hidupku berapakah banyak kau belanjakan?
Jiwaku, berapakah budak kau lahirkan? Kulukai engkau.
Rasakan, rasakan kepedihan fana dan kekekalan

Kulalui jalan ini, jalan tak punya arah kembali
Orang melambaikan waktu, musuhmu abadi.
 Siapakah yang mengerang memukul-mukul dada?
Akhirnya kumiliki engkau sebagai sebagai tiada

Lumpur itu, meregang jadi debu
Lempeng itu, tersengal dalam diriku
Alangkah “Alangkah malang,” katamu


KITA PERNAH

Kita pernah berkenalan
Musin hujan, air
Memanjat selokan “sebut aku kepasrahan”
Katamu, timbul-tenggelam dalam genangan

Dalam genangan, air menjilat rumah-rumah jamban
Wajahmu pucat, dan ketakutan. “sebut aku ketabahan,” katamu
Kayu dan arang mengerut dan mengerang.
Engkau kemanakah bakal pulang?
Berhari-hari berbulan-bulan kutunggu kau di koran-koran

Di koran-koran, seperti biasa, kau tidak ada
Gedung-gedung didirikan dengan ketenanganb
Demikian indah begitu megah deras pembangnan
Kota-kota tumbuh dari kegaiban. Tapi kita

Tapi kita pernah berkenalan
Berulangkai kau kunjungi aku,
sebagai aduh dari kepedihan
MUTIARA YANG HILANG

Kota -kota dalam bayanganku lautan bunga-bunga
Indah tanpa cela.hingga ke sudut gerbangnya
Namun kotaku kini tinggal pekathitam. Tanpa surya
Siang malam kedinginan. Kotaku diselimuti mega-mega
Raksasa. Taman hatiku, kian menepi ditanami
Rumah-rumah penduduk, disulap jadi tebing,
Juga telaga. Sepanjang jalan, mengubur kemarahanmu
Gunung-gunung berbatu, begitu senyap. Seperti singa

Orang-orang berebut memasang taring. Mengasah kuku
Tanpa advertensi. Menerkam siapa saja
Tak pandang dadanya berbulu. Di dalam diskotik,
Kafe, bar dan restoran, tak lagi kusaksikan
Tarian letih pencarian kerja. Mereka hanya bergantian
Menyanyikan luka dan keperihan, sedangkan air matanya
Dipenuhi dengan darah. Membius seorang wanita
Hingga berubah menjadi hewan melata, yang leluasa
Mendengus-denguskan napasnya di balik ketiak pria
Dan aku semakin kesepian melangkah kota
Mencari-cari mutiara yang hilang

PAHLAWAN

Ketika dari seberang lautan datang pasukan seteru
Pahlawan dengan gagah memasang dada
Mengatur segala siasat
Sendiri atau ramai-ramai tak jadi soal
Di benaknya Cuma ada satu harapan
Menangkan perang

Lalu pahlawan membangun kemerdekaan
Untuk sesamanya bukan dengan senjata,
Tapi dengan semangatnya yang membara
dan bergerak dalam darah
seperti virus, setiap tetes menjalar ke tubuh bagaikan pepohonan, beranak pinak dan benihnya itu memijar menjadi sejuta
bahkan semilyar tenaga
bukan untuk berperang atau aksi gagah-gagahan

membangun negeri yang penuh harapan ini
perlu lebih dari semilyar semangat dan perjuangan


 EKSPRESI SUARA TENGAH KOTA

Suara sumbang menerang ke tengah kota
Di pigura pabrik, hotel dan swah ladang
Baru uterima ganti rugi
Namun semua itu semua tahu keuntungandimana-mana
Hanya lukisan tanpa warna
Bermain ilusi sampai pagi
Serasa orang-orang jantan sepertimu
Haruskah mengadaikan rasa malu
Setiap kali datang koran lagi,
Udara dan kata-kata, menyudahi pertengkaran diantara kita
Tapi api telah menyulap aib duniamu
Sedang aku masih memimpikan ibu kotaku ini berubah
Semasa air matamu masih mengalir dan sedikit tumpah di kerah bajuku

Cukup satu naskah ku mengenal karaktermu
Setiap adegan hanya menari dan terus menari
Lalu diam menangkapi lautan cahaya cintanya



KIBARKAN

Kibarkan
Kibarkan panji-panji di setiap sudut benteng
dan di atas gapura
baagai segumpal daging yang melimpah
pada pasukan panah
celakalah bagi mereka yang  akan menyerang kita
kelaparan akan melanda
dan mereka akan kita bantai
satu demi satu

MERDEKA

Seperti suatu meriam kan meledak
Seribu bedil adakah berarti
Kalau laras-laras sudah bernyanyi
Apalagi yang kau tunggu  saudara
Ayo! Nyalakan api hatimu
Seribu letupan pecah suara
Sambut dengan satu kata: Merdeka!

Mrah putih putih mawar melati
Merah putih bara api
Merah putih mawar melati
Merah putih setiap hati
Sambut dengan satu kata : Merdeka!  3X

KITA BERTEMU DISINI


Kita bertemu disini!
Dalam berbagai panorama puisi
Mengisi kesunyian, dan mengaduk
harapan-harapan
tentang apa saja ...

kita bertemu disini!
Memenuhi undangan perasaan
Karena kita tlah terpadu
Dalam ceria maupun sendu ...

Sahabat ...
Adakah kau dengar lagu indah
sedang bersenandung di hatiku?

Kita bertemu disini!
Dalam dendam rindu yang satu ...


PUISIKU

Puisiku adalah sebuah dunia bebas
Dimana aku aku dapat merasa paling berkuasa
Atas kemauanku sendiri
Dan akupun kemudian terbang kemana-mana
Menyaksikan kemelut disana sini
Menyusuri alunan simponi
Kisah sedih gadis-gadis yang cekcok 
dengan kata hati sendiri atau ditinggal kekasih

Oh, betapa bahagia
Bisa memeluki bukit dan gunung
Menciumi bunga-bunga

Berlari-lari di padang rumput
Entah akan kemana,
Bagaimana
Mengapa

Puisiku adalah rasa syukurku
Karena damai ataupun kusruh melihat hidup
membayangkan gerak
GURU

Oh, Guru
Maafkan aku dan teman-temanku
Mungkin selama ini kami selalu
 menyusahkan bapak dan ibu guru

Oh, Guru
Kau adalah pengganti orang tua kami
Yang telah banyak membimbing kami
Dan cukup banyak yang kami tidak tahu di rumah

Oh, Guru
Begitu besar pengabdian dan jasamu
Dengan penuh kesabaran, ketulusan dan kasih sayang
Engkau berikan ilmu kepada kami tanpa pamrih

Oh, Guru
Semoga perjuanganmu
Dapat mnerangi hati kami yang beku
Dapat menjadi penuntun
Dalam setiap langkah kami
Oh, Guru
Hanya Tuhanlah
Yang dapat membalas semua jasamu
Amien

GURUKU


Guruku ...
Jasamu tak sepenggalah             
Kau didik dan kau bina, dengan penuh asuh
Kau tuntun dan kau bimbing kami,
Dengan penuh asih dan kasih

Demi hari, demi minggu, bulan dan tahun terus bertambah
Enam tahun kau adalah Bapakku, ibuku di sekolah
Bagi kami tak mau perpisahan
Bagi kami ada bekas
Bagi kami guruku adalah guruku
Guruku, ...
Memang jasamu tak sepenggalah


GURUKU

Enam tahun berlalu ...
Kau ukir ilmu dalam benakku
Pelita hidup dalam kalbu            
Sebagai tongkat di kegelapan

Guruku,...
Mendidik dan mengajariku
Sepenuh ksabaran dan keikhlasan
Sesarat pengabdian dan perjuangan
Tak pernah kau mengeluh
Tak pernah kau mengaduh
Meniti panggilan hati nurani

Guruku, ...
Jasamu tak ternilai apapun
Jasamu tanpa tanda
Sebagai embun penyejuk rasa
Kasihmu tanpa pilih
Budimu tergores dalam hatiku
Hanya Tuhanlah yang memberi pahala
Untukmu guruku
GURUKU

Adakah yang lebih mulia,
Seperti seorang guru
Setiap kata yang diucapkan
Adalah jalan menuju surga

Adakah yang lebih mulia,
Seperti seorang guru
Lewat butir-butir kapur yang berterbangan
Anak didiknya melihat cakrawala
Menatap wajahnya saja
Usailah segala duka

Adakah yang lebih mulia,
Seperti seorang guru
Lewat hari-hari yang berlari
Angin surga datang membelai
Indah dan harum mewangi
Kalaupun kelap senja mulai membayang
Usiamupun makin lanjut
Murid-muridmu akan menikmati jasanya

UCAP SATU KATA

Ucap satu kata tantangan
Pada angin yang kencang
Ketika perahu terguncang

Ucap satu kata kepastian
Pada bimbang yang mengembang
Jangan ucap satu katapun
Tentang kekacauan
Jika perjuangan belum selesai
Selama hidup belum usai

Kalau kita bicara soal kejadian yang melanda dunia
Biar sampai rambutnya habispun tak ada usainya
Mungkin dunia ini sudah tidak ada mahkotanya lagi
Dimana-mana kulihat perang
Rakyat menderita kelaparan
Kehilangan tempat bernaung
Mayat-mayat berserakan
Darah bercucuran dan tangis si kecil
yang tak mengenal dosa mencari ayah dan ibunya
sembari menahan lapar dan dahaga
ya, ... Tuhan, terangilah duniamu, yang gelap ini
selamatkan jiwa-jiwa hambamu ini
yang belum mengenal dosa
dari kekejaman duniaMu, ya ... Tuhan
apa mungkin engkau telah enggan bersahabat dengan kita

Oh, dunia ... masih adakah citramu yang baik
Untuk merajut hari esok demi anak cucumu
Agar dapat menikmati hidup engan damai


DARI KETINGGIAN MENARA MONAS

Aku dan beserta teman-teman  naik ke punack Monas
Dari menaranya kunikmati panorama Jakarta
Menukik ke sekitar manusia bagai semut bergerak-gerak
Sana-sini kelompok jubelan mobil merangkak beringsut
Dalam mau melepaskan diri untuk kabur melejit

Sebelah utara ada sesayat laut tenang membiru
Diusik gerak-gerik kapal dan perahu nelayan
Di jalur-jalur kota menyembul tonggak-tonggak beton
besar-besar dan tinggi-tinggi menuding langit
Sebagian wajah kota tertutup hamparan permadani
dari atap dan genting rumah ditumpahi tinta hijau dedaunan
di celah-celah dan ruang di kejauhan

panorama lama ibukota indah mempesona
ciptaan Tuhan seru sekalian alam

dari menara Monas terasa sunyi serasa tersingkir
dari keakraban keramahan dan kebersamaan yang terpasang
di kebisuan alami di bawahtidak ku tahu
gerak tingkah apa dan kata-kata apa yang terhambur
di bawah kala berada di ketinggian yang menjauh
keseharian kita sama-sama terperangkap dalam
relung kehidupannya

TANAH AIR MATA


Tanah air mata tanah tumpah darah
Mata air mata kami
Airmata tanah air kami

Di sinilah kami berdiri
Menyanyikan airmata kami

Di balik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Di balik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami

Kami coba simpan nestapa
Kami coba kuburkan dukalara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana

Bumi memang tak sebatas pandang
Dan udara luas menunggu
Namun kalian takkan bisa menyingkir
Kemana pun melangkah
Kalian pijak airmata kami
Kemana pun terbang
Kalian kan hinggap di airmata kami
Kemana pun berlayar
Kalian arungi airmata kami

Kalian sudah terkepung
Takkan bisa mengelak
Takkan bisa kemana pergi
Menyerahlah pada kedalaman airmata kami

CITRA GURU

Langkahmu yang terayun setiap hari
Kadang tersendat surut
Setapak untuk kemudian
melompat menerang cakrawala
kehidupan nyata
Kau telah siap dengan setiap tantangan
Bukan dengan membabi buta

Hari ini,
Dalam alunan kehidupan dari itu ke itu
Masih kau tumpahkan kristal-kristal kasih
Di ruang pengap persegi
Empat sementara sekian mulut tanggung
Jawabmu menunggu
Cerita pelipur angan
Yang tak pernah nyata
Bahkan makin menjauh
Kau tidak cemas
Kau tidak putus asa
Esok, pagi hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar